Oleh : DR. Ade Reza Hariyadi
Pada 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya mengumumkan status darurat global setelah virus corona menginfeksi 7.800 orang di 18 negara dan menewaskan 171 orang di China. Status sebagai pandemi global virus corona kemudian ditetapkan pada 11 Maret 2020 setelah virus corona menginfeksi 121.564 orang di 118 negara, dan pasien meninggal dunia mencapai sebanyak 4.373 orang. Hingga 26 April 2020, tercatat kasus positif terinfeksi sejumlah 2.940.731 orang, meninggal dunia 203.814 dan sembuh 842.081. Sedangkan di Indonesia, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 mencatat sebanyak 8.882 positif, 743 meninggal dunia, dan 1.107 dinyatakan sembuh. Perkembangan data tersebut menunjukkan masih ada penambahan yang signifikan setiap hari dan mendorong berbagai pemerintah di dunia untuk memperpanjang kebijakan lockdown maupun social distancing sebagai strategi pencegahan penularan wabah.
Belum ada Opsi Lain
Covid-19 sebagai varian baru dari virus corona hingga kini belum ditemukan obat yang efektif dan vaksin yang siap digunakan secara global. Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Amerika Serikat menyebut bahwa setidaknya butuh waktu hingga 18 bulan untuk memiliki vaksin yang dapat diuji coba secara massal. Meski sebagian negara dan lembaga riset telah mulai melakukan uji klinis vaksin eksperimental pada April 2020, tampaknya tahapan panjang masih harus dilalui hingga menghasilkan vaksin yang siap digunakan. Setidaknya, masyarakat dunia harus bersabar hingga tahun depan untuk mendapat hasil yang meyakinkan tentang pembuatan vaksin Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia berpacu dengan waktu untuk dapat memecahkan masalah kesehatan global. Sepanjang solusi efektif kesehatan itu belum ditemukan, maka strategi paling efektif yang dilakukan adalah merubah perilaku individu dalam mode pembatasan sosial. Meski hal ini bertentangan dengan state of nature bahwa setiap manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial (zoon politicon), tampaknya mengisolasi diri menjadi individu merupakan pilihan terbaik dibandingkan menjalin interaksi sosial. Karakteristik penyebaran virus yang cepat dan kemampuannya untuk bertahan di ruang terbuka yang tinggi membuat setiap interaksi sosial menghadirkan ancaman bagi setiap individu di dalamnya. Hal inilah yang juga mendorong pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Covid-19 dalam status bencana nasional nonalam melalui Keppres No.12/2020.
Dampak Covid-19
Respon negara-negara di dunia terhadap penyebaran Covid-19 melalui kebijakan lockdown dan social distancing telah berdampak sistemik pada mata rantai pasokan global (global supply chain). Seluruh sektor kehidupan mengalami stagnasi sekaligus disrupsi akibat berhentinya sektor produksi dan distribusi barang dan jasa guna mencegah pergerakan manusia yang berpotensi disertai dengan migrasi dan penularan virus. Masalah kesehatan telah berimbas pada kehidupan sosial, politik, ekonomi dan keuangan, termasuk keagamaan mengalami goncangan.
Sektor ekonomi global akan memasuki situasi resesi dan segera berdampak kesemua negara, tidak terkecuali Indonesia. Sejumlah indikator menunjukkan penurunan drastis di antaranya jatuhnya konsumsi rumah tangga, merosotnya investasi, kontraksi perdagangan internasional, mandeknya sektor industri terutama manufaktur dan padat karya dan ancaman gelombang PHK massal. Hal ini jelas menjadi tantangan Indonesia untuk mempersiapkan skenario penyelamatan dan recovery dari potensi resesi ekonomi.
Sektor sosial akan terdampak langsung, terutama sektor tenaga kerja baik formal dan informal yang terkait dengan kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa. Penghentian kegiatan industri telah menyebabkan gelombang PHK dan menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini akan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Kelompok rentan inilah yang perlu mendapat perhatian dan masuk dalam program jaring pengamanan sosial. Disparitas sosial perlu dicegah agar tidak terlalu tajam karena berpotensi menimbulkan konflik sosial secara vertikal maupun horizontal.
Sektor politik akan terdampak dengan menurunnya partisipasi politik masyarakat dan ini berpotensi mendorong lemahnya check and balances. Berbagai kebijakan yang kurang demokratis dan kurang mencerminkan aspirasi yang berkembang di masyarakat berpotensi muncul. Kondisi kedaruratan memang memungkinkan hal tersebut terjadi, namun inilah tantangan strategis yang harus diatasi oleh pemerintah dan para pemimpin politik agar tetap mendengar aspirasi dan kepentingan publik yang lebih luas.
Sektor kesehatan telah menunjukkan situasi yang rentan, baik dalam aspek SDM, infrastruktur dan sarana kesehatan. Respon kedaruratan kesehatan telah membuka berbagai celah kelemahan seperti ketergantungan alat dan bahan baku obat, jumlah SDM tenaga kesehatan yang terbatas serta ketertinggalan teknologi dan infrastruktur pendukung. Hal ini menjadi pintu masuk untuk melakukan pembenahan manajemen sektor kesehatan, termasuk memutus mata rantai ketergantungan dan isu tentang mafia alat dan obat-obatan yang selama ini tergantung dari impor. Selain itu, isu kesehatan mental juga akan muncul bersamaan dengan intensitas pembatasan sosial. Sejumlah negara-negara di Eropa telah mulai menaruh perhatian terhadap isu kesehatan mental sebagai persoalan serius yang akan menyertai kebijakan pembatasan sosial dan situasi resesi ekonomi.
Sektor kehidupan keagamaan juga akan mengalami perubahan dengan berubahnya pola perilaku sosial yang telah mendorong pembatasan sementara aktifitas keagamaan di ruang publik. Hal ini akan memunculkan tantangan dari kelompok-kelompok yang tidak bisa menerima realitas kebijakan pembatasan sosial sebagai strategi pencegahan wabah dan berpotensi mengeskalasi faktor agama dalam relasi sosial yang dapat bergerak ke arah konflik. Baik pemerintah dan para pemuka agama perlu untuk mengambil peranan lebih efektif guna membangun perspektif baru dan mendorong pemahaman yang memadai agar umat beragama dapat mengambil peranan penting dalam pencegahan penyebaran wabah.
Dampak lain yang juga penting adalah adanya kesempatan bagi Indonesia untuk mengevaluasi seluruh sektor strategis, terutama menyangkut daya tahan terhadap krisis dan sejauhmana mampu berdiri sendiri tanpa ketergantungan dari asing. Tren global akan menunjukkan persaingan antara respon yang bersifat nasionalistik dan proteksionisme, dengan dorongan untuk menjadikan momentum pandemi ini sebagai pijakan membangun tata dunia baru berdasarkan solidaritas dan kerjasama global. Kesempatan ini harus dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat ketahanan nasional dan mendefinisikan kepentingan nasionalnya dalam kerjasama global.
Penulis adalah doktor lulusan UI dan dosen.