Oleh Fikri Syariati*
Ditengah meningkatnya jumlah penderita positif virus corona secara global, terdapat kelompok tertentu yang memanfaatkan situasi ini untuk melakukan kejahatan siber. Dikutip dari situs berita CNN Indonesia, salah satu kejahatan siber terkait virus corona yang terjadi adalah situs web rumah sakit Universitas Brno Republik Ceko diserang peretas, mengakibatkan jadwal operasi yang telah disusun pihak rumah sakit harus ditunda karena rumah sakit tidak dapat men-transfer informasi dari sistem klinis utama ke database-nya. Terkait hal ini, pakar keamanan siber dari Perusahaan OutThink, Flavius Plesu, memperingatkan rumah sakit menjadi salah satu sasaran para pelaku kejahatan siber terutama berkaitan dengan catatan kesehatan pasien.
Selain itu, banyak situs palsu yang mengatasnamakan diri sebagai peta virus corona, padahal situs tersebut telah disusupi malware jenis AZORult. Ketika pengguna mencari peta penyebaran virus corona, malware tersebut terunduh dan terpasang otomatis ke perangkat pengguna dan menunggah berbagai data pribadi yang dimiliki pengguna yang telah terinfeksi malware tersebut. Cara lainnya adalah para peretas menggunakan metode phising yaitu menaruh malware pada e-mail, yang akan aktif jika pengguna e-mail me-klik email tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kejahatan siber juga terjadi pada 16 Maret 2020 lalu, yang dialami sistem Kementerian Kesehatan dan Pelayanan Publik Amerika. Para peretas melambankan sistem tersebut dan mengumumkan berita bohong mengenai isu akan diterapkannya karantina wilayah (lockdown) di Amerika Serikat. Sementara itu di Indonesia, pada 12 Maret 2020 lalu situs web pemantauan virus corona milik Pemprov DKI Jakarta juga mengalami serangan siber berjenis DDos sehingga situs tersebut sempat tidak dapat diakses. Hingga saat ini belum diketahui pihak mana yang melakukan penyerangan terhadap situs milik Pemprov DKI Jakarta tersebut.
Maraknya serangan siber terhadap situs Pemerintah yang terkait dengan virus corona, atau serangan siber oleh pihak tertentu kepada masyarakat dengan mengatasnamakan informasi mengenai virus corona, membuat instansi Pemerintah dan masyarakat memerlukan perlindungan lebih terhadap keamanan siber. Pada titik ini, diperlukan kembali adanya RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).
RUU KKS sendiri telah resmi dibatalkan oleh DPR RI periode 2014-2019 pada 27 September 2019 oleh Pansus RUU KKS, karena perwakilan Pemerintah yaitu Menteri Hukum dan HAM, Menteri PAN-RB, dan Menteri Komunikasi dan Informatika, tidak menghadiri rapat kerja yang telah dijadwalkan Pansus. Pembatalan tersebut berimbas tidak dapat dilanjutkannya kembali (carry over) pembahasan RUU tersebut oleh DPR RI periode 2019-2024, dikarenakan pembentukan RUU KKS belum memasuki tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), salah satu syarat pembahasan rancangan atau revisi UU dapat dilanjutkan adalah sudah masuk dalam pembahasan DIM.
Ketika RUU KKS bergulir pada pertengahan tahun 2019 lalu, RUU ini juga tidak luput dari kritik publik. Salah satu kritik tersebut berasal dari Direktur Eksekutif SAFENet, Damar Juniarto, yang mengatakan sejumlah pasal RUU KKS memiliki persoalan antara lain mengancam privasi dan kebebasan berekspresi, membatasi perkembangan teknologi yang melindungi hak azasi, menghalangi kapasitas individu dalam meningkatkan keamanan siber, dan berpotensi menjadikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai lembaga superbodi. Kritik lainnya berasal dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), yang menilai Pemerintah rentan menyalahgunakan wewenang jika RUU tersebut jadi disahkan.
Namun terlepas dari segala kritikan tersebut, sudah saatnya Pemerintah kembali memulai inisiasi terhadap RUU KKS. Terlebih lagi, beredarnya banyak hoax dan munculnya ancaman kejahatan siber yang besar terhadap rumah sakit dan institusi kesehatan Pemerintah lainnya membuat keberadaan UU tersebut menjadi amat relevan saat ini, agar Pemerintah mendapatkan kewenangan lebih luas untuk menanggulangi ancaman kejahatan siber. Sebelumnya, Pemerintah harus terlebih dahulu memperbaiki isi dari RUU KKS dan dalam pembahasannya melibatkan komunitas siber sehingga mengurangi resistensi masyarakat terhadap RUU tersebut. Bagaimanapun, kedaulatan siber bangsa dan masyarakat Indonesia adalah hal yang paling utama, sehingga menjadi kewajiban Pemerintah melindungi bangsa dan masyarakat Indonesia dari seluruh ancaman siber.
*Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik