Oleh :Almira Fadhillah
Kesejahteraan rakyat Papua jelas belum selaras jika dibandingkan dengan masyarakat di daerah lain di Indonesia. Pendidikan, ekonomi, politik, infrastruktur hingga penanganan Hak Asasi manusia (HAM) tertinggal jauh. Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang disahkan dua dekade silam faktanya belum bisa diterapkan secara maksimal. Untuk itu, kesenjangan yang dirasakan tersebut menjadi landasan pemerintah pusat guna merevisi otonomi yang diatur dalam Undang-undang nomor 21/2001 ini. Otsus Papua akan berakhir pada tahun 2021 silam, momen ini seharusnya menjadi waktu yang tepat bagi pemerintah untuk membuat rakyat ujung timur Indonesia itu menjadi lebih maju.
Implikasi revisi Otsus ini adalah duduk setara, sejajar dengan daerah-daerah lain serta menanggulangi perlakukan diskriminatif yang berlangsung selama ini. Sebagai contoh, pasal mengenai rekonsiliasi yang menyebabkan masalah pelanggaran HAM hingga kini belum terselesaikan dengan baik. Beberapa kebijakan yang diatur dalam UU Otsus ini, tak bisa dijalankan karena bertabrakan dengan UU sektoral. Revitalisasi aturan sangat dinantikan, meski sejumlah media mewacanakan penolakan dari warga Papua sendiri. Dominasi Jawa dan Jakarta sebagai sentris pembangunan Indonesia harus diakhiri. Papua berhak mendapat kelayakan yang sama dengan daerah-daerah tersebut. Caranya, apa lagi kalau bukan Revisi Otsus Papua.
Sedangkan sebagai sumber pendanaan, Otsus Papua akan dilakukan bersama dengan Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas. Kedua sektor ini menjadi sumber pendanaan Otsus sejak dulu hingga ke depan. Pendanaan menjadi sektor yang krusial. Besaran pendanaan hingga masa berakhirnya Otsus Papua tahun 2021 sebesar 2 persen dari DAU Nasional. Hal ini seharusnya dijadikan prioritas. Dengan Revisi yang akan dilakukan, pemerintah pusat bisa duduk bersama-sama dengan seluruh perwakilan rakyat Papua. Tujuannya, tak lain agar rancangan UU Otsus tersebut sesuai dengan aspirasi masyarakat di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang menjadi persoalan ialah lemahnya evaluasi pengelolaan dana selama ini. Pengelolaan, pertanggungjawaban dan penyaluran di rasa menjadi titik lemah. Lubang ini tentunya harus segera dibenahi demi penyerapan pendanaan yang maksimal. Revisi akan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus sangat dibutuhkan, khususnya pendekatan dari sisi manajerial. Jika tidak ada revisi, maka perpanjangannya tidak dapat diakomodasikan. Karena tentunya pasal 34 UU guna merevisi UU Otsus ini haruslah diganti sesuai keperluan.
Untuk mencapai gol, peran forum umat beragama di sana sangat penting, peran mereka sangat krusial dalam pengambilan kebijaksanaan. Dukungan lain datang dari pihak lembaga tinggi negara yakni DPD RI. Dengan sinergitas elemen-elemen ini, Revisi Otsus bukan tak mungkin menjadi jawaban untuk integrasi wilayah Papua. Yang mana dapat mengentaskan kemiskinan serta memajukan kesejahteraan rakyat Papua.
Tak hanya itu, pembahasan revisi Otsus Papua jika perlu harus dilakukan secara terbuka, terutama untuk rakyat Papua. Mengaca pada dua dekade terakhir tentang kurang maksimalnya penerapan Otsus, seharunya menjadi cermin bagi pemerintah untuk mendengar dan memantau langsung apa-apa saja yang mereka butuhkan. Pemberlakuan UU Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat selama ini tidak mudah, sehingga perlu ada pertanggungjawaban agar dapat disusun kebijakan berikutnya dengan cermat, tepat dan efisien.
*) Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadarma