Oleh : Iqbal Fadillah
Di era globalisasi dan digitalisasi 4.0 saat ini semakin muncul keyakinan bahwa kekuasaan keuangan telah menggantikan diplomasi kekuatan bersenjata pada pola imperialisme lama. Wabah resesi ekonomi global yang terjadi di sepanjang tahun 2019 nampaknya akan masih menjadi ancaman pada Tahun 2020 akibat situasi yang tidak menentu, lantaran perang dagang dan konflik politik. Dikutip dari katadata.co.id, pada kuartal II tahun 2019, sejumlah Negara mengalami pertumbuhan ekonomi negatif menuju resesi diantaranya, Singapura, Hongkong, Inggris, Jerman, Meksiko dan Argentina.
Bahkan Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva, dalam pertemuan tahunan IMF pada 8 Oktober 2019 di Nusa Dua Bali, menyatakan bahwa IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi lebih lambat di hampir 90 persen dunia pada tahun 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ancaman resesi terjadi akibat eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok serta ketegangan konflik geopolitik, seperti Brexit dan demo anti pemerintah di Hong Kong. Faktor internal di sejumlah negara juga menjadi penyebab, di antaranya sektor manufaktur yang menurun drastis dan produktivitas penduduk yang tumbuh rendah (tingkat pengangguran atau jumlah penduduk usia tua yang tinggi).
Bagaimana dengan Indonesia ? Apakah Indonesia akan terpapar resesi global pada tahun 2020. Menurut Ekonom BNI Ryan Kiryanto, Indonesia tidak akan terpapar resesi meskipun keadaan ekonomi global kian mengancam. Hal tersebut dikarenakan Indonesia bukan Negara berbasis ekspor atau Negara yang bergantung pada rantai pasol global (Global Supply Chain).
Sejalan dengan hal itu, World Economy Forum (WEF) telah menerbitkan Global Competitiveness Index 4.0 (GCI 4.0) periode 2018-2019 yang mengukur daya saing dari 141 Negara berdasarkan data hasil survey opini eksekutif dan data statistik yang telah dikumpulkan oleh WEF. GCI dicipta oleh Prof. Klaus Schwab (979), Executive Chairman WEF, kemudian dikembangkan oleh Xavier Salai Martin (2005), dan sejak saat itu metode dan berbagai hasil laporan GCI diumumkan.
Indonesia dalam GCI 2018-2019 berada pada peringkat 50 atau turun 5 tingkat dari periode tahun sebelumnya. Di tingkat Asean, Indonesia berada di peringkat keempat dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand, dari 12 pilar yang diukur sebagai daya saing penentu dari pertumbuhan jangka panjang dan faktor esensial dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yakni 1) Institusi, 2) Infrastruktur, 3) Adaptasi Teknologi informasi dan komunikasi, 4) Stabilitas Makro Ekonomi, 5) Kesehatan, 6) Kemampuan/Skill, 7) Produk Pasar 8) Pengembangan Pasar, 9) Sistem Finansial, 10) ukuran pasar, 11) Dinamika bisnis dan 12) Kemampuan Inovasi.
WEF mencoba mendefinsikan daya saing (competitiveness) sebagai seperangkat institusi, kebijakan dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu Negara, yang pada gilirannya menentukan level kemakmuran yang dapat dicapai. Masyarakat bisnis dunia menggunakan pemeringkatan tersebut sebagai alat untuk menentukan rencana investasi dan menilai kelayakan letak usaha yang baru di suatu Negara tersebut.
Meskipun secara grafik mengalami penurunan dari posisi tahun lalu, namun kekuatan Indonesia dalam menghadai era 4.0 berada di ukuran pasar (Market Size) dan Stabillitas Lingkungan Ekonomi Makro (Macro economic Stability). Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki budaya bisnis yang dinamis dan sistem keuangan yang cukup stabil. Namun dari data GCI 4.0 tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia yakni kemampuan inovasi dan tingkat adaptasi teknologi informasi dan komunikasi. Hal tersebut nampaknya memang bagian dari resiko persaingan 4.0 yang tingkat akselerasinya sangat cepat apabila kita tidak siap melakukan invoasi dan kreativitas di bidang teknologi.
Meskipun Indonesia masih dalam kategori aman dari ancaman resesi ekonomi global serta kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih tergolong cukup realistis dengan target pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3 persen ditengah kondisi riil saat ini. Pemerintah tetap perlu terus mewaspadai ancaman resesi global yang mungkin terjadi pada tahun depan.
Beberapa langkah preventif yang perlu dilakukan Pemerintah untuk melindungi perekonomian nasional dari gejolak ekonomi global diantaranya, faktor internal mencakup stabilitas sosial-politik yang secara langsung akan berdampak pada pertumbuhan investasi serta berhati-hati dan tepat sasaran dalam pengelolaan APBN guna menjaga perekonomian kita dari tekanan ekonomi global khususnya fokus pada pengembangan inovasi dan adaptasi teknologi. Sementara faktor eksternal mencakup kondisi perekonomian dari Negara-negara mitra dagang maupun para penanam modal asing. Hal tersebut tentu akan menjadi amcaman iklim investasi di Indonesia.
——oo00oo——