Oleh : Victor Alfons Jigibalom
Kalangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam Raker dengan Wakil Menkeu RI tanggal 25 Februari 2020 sepakat agar Kementerian Keuangan RI untuk lebih mendorong daerah agar lebih memprioritaskan penggunaan dana Otsus Papua pada upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik dengan menfokuskan pada sektor pendidikan dan kesehatan, dengan memperhatikan karakteristik demografi, sosial ekonomi, adat budaya dan politik keamanan, baik untuk provinsi Papua maupun Papua Barat dengan tata kelola yang baik.
Selain itu, Pansus Papua DPD RI meminta Kementerian Keuangan RI untuk melakukan evaluasi total terhadap tata kelola dana Otsus Papua. Kemudian, Pansus Papua DPD RI meminta pemerintah untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi secara intensif dengan jajaran pemerintahan di Papua dan Papua Barat dalam melakukan pengawasan dana Otsus yang lebih efektif dan optimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perbaiki Tata Kelola
Alokasi dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 sebesar Rp 8,37 triliun. Angka tersebut naik dari 0,2% dari proyeksi 2019 yang sebesar Rp 8,36 triliun. Alokasi Dana Otsus ditujukan untuk pendanaan di bidang pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebesar Rp 4,68 trilun, naik 9,73% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 4,26 triliun. DTI bertujuan untuk mempercepat penyediaan infrastruktur di Provinsi Papua dan Papua Barat. Harapannya, dengan adanya DTI, dalam waktu 25 tahun sejak 2008 seluruh kabupaten/kota dapat terhubung dengan transportasi darat, laut, dan/atau udara yang berkualitas.
Pemerintah memastikan tetap menggelontoran dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat pada 2020. Kepastian ini didapatkan setelah Badan Anggaran DPR menyetujui postur sementara APBN 2020 terkait dengan dana transfer ke daerah termasuk dana otsus di dalamnya. “Kalau lihat pagunya dana Otsus Rp 21,4 triliun jadi meningkat 2,1 persen dibandingkan 2019,” ujar Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Untuk Papua dan Papua Barat, dana Otsus yang diberikan sebesar Rp 8,3 akan dibagi berdasarkan persentase 70 persen-30 persen pada 2020. Selain itu, ada juga Dana Tambahan Infrastuktur (DTI) untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 4,6 triliun. Porsinya memperhatikan usulan daerah yang memiliki prioritas infrastuktur tinggi.
“Jadi Papua 60,98 persen dan Papua barat 39,02 persennya,” kata dia. Menurut Astera, ada kebijakan baru dimana penggunaan anggaran Otsus nantinya harus ada perbaikan fokus dan prioritas penggunaan terutama untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah Pusat menjanjikan akan mempercepat proses evaluasi dana otonomi khusus (otsus) bagi Provinsi Papua dan Papua Barat yang akan berakhir pada 2021.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pembahasan evaluasi itu akan dilakukan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di Tanah Papua.
“Yang paling penting otsus dan dana otsus memberikan manfaat besar bagi masyarakat di Tanah Papua, bagi kesejahteraan, kemakmuran, bagi perbaikan-perbaikan sumber daya manusia (SDM),” kata Jokowi, usai menerima perwakilan pelajar sekolah dasar dari Provinsi Papua, di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019).
Dalam penuturannya, Jokowi menyebut evaluasi akan dilakukan secara total, dengan turut mempertimbangkan pelaksanaannya selama 20 tahun terakhir. Pelaksanaan otsus dimulai sejak berlakunya Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. UU itu kemudian diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang sekaligus menjadi payung hukum bagi otsus di wilayah Papua Barat.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pernah berujar bahwa pihaknya telah membuat kajian evaluasi otsus Papua dan Papua Barat. Namun, dalam kajian itu tidak diatur terkait teknis penggunaan dana, hanya memberi imbauan soal skala program prioritas.
Setelah kajian itu rampung, Tjahjo menyatakan pembahasan selanjutnya akan dilaksanakan bersama tim dari Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tjahjo mengklaim pihaknya tidak memiliki kewenangan terkait teknis penggunaan dana otsus, tak hanya bagi Papua dan Papua Barat, tapi juga bagi Aceh. Ia mengatakan hanya mengajukan anggaran setiap tiga bulan sekali untuk pencairan otsus ke Kementerian Keuangan.
Tjahjo menjamin, penggunaan dana otsus ini juga selalu diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sementara detail penggunaan diatur dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 25 Tahun 2013 Tentang Pembagian Penerimaan dan Pengelolaan Keuangan Dana Otsus.
Penyerapan dana otsus di Tanah Papua selama ini menjadi sorotan. Dengan anggaran yang sangat tinggi—nyaris setara dengan APBD DKI Jakarta—tingkat kesejahteraan di provinsi paling timur itu tetap tertinggal jauh.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro pernah menyatakan alokasi anggaran kementerian/lembaga ke Papua pada 2016 sekitar Rp20 triliun. Sayangnya, dari jumlah itu sekitar 50 persen atau Rp10 triliun menumpuk tidak terserap.
Kasus gizi buruk yang menyebabkan 70 orang meninggal dunia di Kabupaten Asmat, Papua, pada tahun lalu menjadi salah satu sorotannya.
Merujuk Undang-undang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dana otonomi khusus Papua dihitung sebesar 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU). Dana ini berlaku setelah aturan itu diterbitkan hingga 2021.
Tiap tahun, minimal 15 persen dana ini harusnya disalurkan untuk kesehatan dan perbaikan gizi. Dalam 15 tahun terakhir, setidaknya ada dana Rp7,18 triliun yang sudah tersalurkan demi perbaikan kesehatan Papua.
Alih-alih kesehatan membaik, justru muncul penyakit dan masalah kesehatan. Berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Kesehatan TNI KLB Asmat, sejak September 2017 hingga 24 Januari 2018, 65 anak meninggal akibat gizi buruk. Empat anak lain meninggal karena wabah campak.
Dari hasil pemeriksaan terhadap 12.398 anak, Satgas menemukan 646 anak terkena wabah campak dan 144 anak menderita gizi buruk. Selain itu, 25 anak yang diduga terkena campak, dan 4 anak mengalami gizi buruk sekaligus campak.
Bukan hanya soal penyerapannya, Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total Pendapatan Daerah Papua dan Papua Barat sangat rendah. Tak ayal, dua provinsi ini masuk dalam kategori wilayah paling tidak mandiri.
Kabupaten Deiyai tercatat sebagai daerah yang paling bergantung dengan dana pemerintah pusat. Kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerahnya hanya berkisar 0,1 persen. PAD Deiyai hanya setara dengan pendapatan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor Kabupaten Badung sebesar Rp1,3 miliar.
Deiyai adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua. Dulunya pernah menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Paniai. Namun kemudian daerah itu dimekarkan dan Deiyai menjadi kabupaten baru dengan landasan Undang-Undang No. 55 tahun 2008.
Selama ini ketergantungan daerah terhadap Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) masih sangat tinggi. Transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Sumber Daya Alam, dan Dana Otoritas Khusus. Ada beberapa kabupaten di Papua dan Papua Barat yang sangat tergantung dana Otsus yaitu Waropen, Tambrauw, Puncak, Maybrat, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya dan Pulau Taliabu.
Kementerian dan lembaga negara yang memiliki keterkaitan dengan revisi UU Otsus Papua apakah dalam program kerja ataupun overlapping regulasi (karena disinyalir banyak UU sektoral yang lahir setelah tahun 2001 telah “menabrak” UU Otsus Papua yang disahkan pada tahun 2001, sehingga membuat UU ini kurang bergigi) untuk segera memberikan masukan atau sarannya kepada Kementerian Dalam Negeri, karena sejauh ini menurut informasi yang diperoleh penulis baru tiga Kementerian yang telah memberikan masukan terkait revisi UU Otsus Papua ke Kemendagri yaitu Kemenlu, Kementerian Kesehatatan dan Kementerian Tenaga Kerja.
Disamping itu, tata kelola dana Otsus Papua pasca revisi UU Otsus Papua juga harus semakin baik, transparan dan profesional, dimana menurut penulis dana Otsus sebaiknya tidak dimasukkan dalam Dana Alokasi Umum (DAU) melainkan masuk ke Dana Alokasi Khusus (DAK), sehingga dana baru dapat dicairkan jika proposal program kerja disetujui oleh badan yang mengurus dana Otsus, sehingga mudah terkontrol. Oleh karena itu, pembentukan Badan Nasional Urusan Otsus juga perlu dipikirkan agar dana Otsus “tidak terbuang percuma” selama 20 tahun terakhir. Semoga.
Penulis adalah pemerhati masalah Papua.