BIREUEN|METRO ACEH-Berbagai fasilitas dan akses kemudahan, berhasil diperoleh terpidana TPPU narkoba Murtala Ilyas sebagai terpidana jaringan narkoba terkaya di Indonesia.
Bos sindikat narkoba asal Peudada, Kabupaten Bireuen yang memiliki harta kekayaan sebesar Rp 155 miliar lebih ini, yang dikembalikan pasca putusan hakim Mahkamah Agung (MA) RI yang merusak citra lembaga hukum itu, serta menodai rasa keadilan kini kembali jadi sorotan publik di Aceh.
Pasalnya, selain memperoleh keringanan hukuman dan pengembalian Rp 142 miliar lebih uang tunai, serta belasan miliar rupiah harta bergerak dan tidak bergerak hasil bisnis haram kartel narkoba internasional, yang pernah disita BNN pusat. Kini, Murtala Ilyas juga telah dipindahkan ke Lapas kelas II A Banda Aceh, untuk menjalani masa hukuman yang jauh lebih ringan dari putusan PN Bireuen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Apa dasar pemindahan Murtala Ilyas dari Rutan Bireuen, saya menduga ini pasti ada permainan. Karena narapidana ini memiliki banyak uang, sehingga dia bisa membeli apa saja yang diperlukan demi kemudahannya,” ungkap Koordinator Pengamat Lapas, T Saed Azhar.
Menanggapi persoalan ini, Kepala Rutan Cabang Bireuen, Sofyan yang ditanyai mengaku, Murtala Ilyas sudah pindah ke Lapas kelas II A Banda Aceh di Lambaro. Menurutnya, pemindahan tersebut atas perintah Kanwil Kemenkum HAM Aceh, melalui surat perintah.
Sofyan mengaku, dirinya tidak tahu apa sebab keluarnya perintah itu, namun dia harus menindaklanjuti perintah tertulis ini,”Sudah pindah sejak Juni lalu, atau setelah turun Kasasi. Kami tidak tahu sebab dan dasar perintah itu, jika anda mau tahu silahkan saja tanya ke Kanwil di Banda Aceh,” jelasnya saat ditemui Metro Aceh, Rabu (28/11).
Informasi yang dihimpun Metro Aceh, berdasarkan putusan majelis hakim PN Bireuen nomor 43/Pid.Sus/2017/PN.Bir, Murtala divonis 19 tahun penjara serta seluruh hartanya disita. Namun, vonis ini dibatalkan oleh majelis hakim PT Banda Aceh nomor 146/PID/2017/PT BNA yang menjatuhi hukuman 4,5 tahun penjara, serta mengembalikan hampir semua hartanya, kecuali Rp 2,8 M yang disita untuk negara.
Putusan majelis hakim PT Banda Aceh yang diketuai oleh Wahyono SH, serta hakim anggota Sigid Purwoko SH MH ERIS dan Sudjarwanto SH MH, dengan panitera Nur Afifah diduga merupakan awal praktik kecurangan proses hukum perkara komersil tersebut. Betapa tidak, penyidik BNN yang sudah bersusah payah membongkar bisnis gelap kartel narkoba ini, akhirnya kandas di tingkat banding.
Ironisnya, putusan kontroversi hakim PT ini, malah diperkuat pada tingkat kasasi dengan putusan MA nomor 250 K/PID.SUS/2018 yang diketuai Dr H Andi Samsan Nganro SH MH, serta hakim anggota Edy Army SH MH dan H Margono SH M.Hum MM dengan panitera Rudi Swasoeno Soepandi SH M Hum yang meminta jaksa mengembalikan semua harta sitaan. Hanya Rp 2.8 M yang disita untuk negara.
Keputusan hakim tersebut, dituding jadi petaka dan bertolak belakang dengan semangat perang melawan narkoba yang digaungkan selama kepemimpinan Presiden Jokowi, yang pernah melakukan eksekusi terhadap bandar narkoba di tanah air.
Tak hanya sampai di situ, kontroversi lain juga terjadi dalam proses penahanan gembong narkoba asal Bireuen ini. Dia, tiba-tiba dipindahkan ke Lapas Lambaro, diduga supaya mendapat fasilitas karena memiliki kekayaan dalam jumlah fantastis. (Bahrul)