JAKARTA| METRO ACEH.COM-Hukuman vonis 1 tahun 6 bulan terhadap Meliana, karena berpendapat tentang volume adzan, dituding suatu peradilan sesat yang digelar oleh Pengadilan Negeri (PN) Kota Medan. Demikian kementar pers Ketua SETARA Institute, Hendardi yang dikirim ke redaksi Metro Aceh, Kamis (23/8).
Menurutnya, majelis hakim PN Medan dianggap telah memaksakan diri, untuk memutuskan perkara yang tidak bisa dikualifikasi sebagai peristiwa hukum. Dia menilai, pengadilan tersebut bukan lagi bekerja di atas mandat menegakkan keadilan, sesuai jiwa Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi bekerja di bawah tekanan massa. Peradilan atas Meiliana adalah bentuk trial by the mob yang merusak integritas lembaga peradilan.
Ditambahkannya, proses hukum atas terdakwa Meiliana merupakan akumulasi penyimpangan kerja aparat penegak hukum, mulai kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, sekaligus menggambarkan lemahnya institusi peradilan atas tekanan massa kelompok intoleran.
“Kinerja ini menggambarkan bahwa intoleransi, cara pikir dan cara kerja diskriminatif masih melekat kuat dalam institus-institusi peradilan di Indonesia. Sehingga, intoleransi kini bukan hanya tumbuh di tengah masyarakat, tetapi merasuk ke banyak kepala pihak aparat penegak hukum dan para penyelenggara negara,” tulisnya melalui pesan WhatsApp.
Hendardi menandaskan, perkembangbiakan intoleransi di tanah air, terjadi sejak 2004 saat Presiden Susiloe Bambang Yudhoyono memimpin dan membiarkan aspirasi intoleransi itu, selama 10 tahun masa kepemimpinan berakhir.
Selain itu tukasnya, selama hampir 4 tahun masa kerjanya, Presiden Joko Widodo nyaris tidak mengambil tindakan nyata, mengatasi intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Alih-alih mengambil tindakan nyata menjamin kebebasan beragama atau berkeyakinan, Jokowi malah hanya sebatas membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena alasan keberadaannya yang mengancam politik nasional, tetapi tidak genuine untuk membela kebebasan beragama.
“Dalam pengamatan SETARA Institute, sedari hulu, proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya. Pasca perusakan Vihara dan klenteng oleh kerumunan massa (mob), dengan desakan ormas dan kelompok-kelompok intoleran, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana melakukan penistaan agama,” tulis Hendardi.
Serupa dengan pola kasus Ahok dan sebagian besar kasus penodaan agama, kombinasi tekanan massa, kelompok intoleran, dan fatwa MUI menjadi determinan bagi penetapannya sebagai tersangka oleh kepolisian, dan kemudian ditahan sejak Mei 2018. Selama proses peradilan, persidangan selalu diwarnai tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa serta penasehat hukumnya, dengan kehadiran anggota ormas seperti Front Umat Islam (FUI) dan kelompok-kelompok intoleran.
Dia menjelaskan, dalam konteks lebih makro, SETARA Institute menilai bahwa berbagai ketidakadilan dan ketidaktepatan penerapan hukum dalam kasus-kasus penodaan agama di Indonesia, mengindikasikan bahwa reformasi hukum penodaan (blasphemy law) harus segera dilakukan. Sebagaimana amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU No 1/PNPS/1945 harus segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian (hate speech) serta pemidanaan hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime).
Pengamat nasional ini mendesak, Komisi Yudisial (KY) agar segera melakukan pemeriksaan, atas dugaan penyimpangan dan un professional conduct dari hakim-hakim yang menangani kasusi Meiliana. Sementara institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan memastikan hal serupa tidak berulang dan menyusun panduan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan bidang keagamaan, sehingga aparat di berbagai tingkatan memiliki panduan dalam bekerja. (MA 01)