Oleh : DR Ade Reza Hariyadi
Pemerintah bersama DPR akhirnya sepakat mengundur jadwal pelaksanaan 270 Pilkada serentak yang sedianya akan diselenggarakan pada 9 September 2020 menjadi 9 Desember 2020. Keputusan ini tentu saja sudah tepat mengingat Pilkada merupakan proses pembentukan kekuasaan politik di tingkat lokal yang harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dimana partisipasi masyarakat luas menjadi elemen penting. Aspek tersebut akan sulit dilaksanakan mengingat Indonesia merupakan bagian dari pandemi Covid-19 dan menerapkan kebijakan pembatasan sosial hingga batas waktu yang belum ditentukan. Sehingga, opsi pengunduran jadwal Pilkada merupakan pilihan terbaik agar aspek substansi dan teknis Pilkada dapat dilangsungkan dengan baik, dan semua sumber daya yang tersedia saat ini dapat difokuskan pada upaya pencegahan wabah Covid-19.
Keputusan tentang pengunduran jadwal Pilkada serentak 2020 telah diputuskan pada Senin, 30 Maret 2020 antara Komisi II DPR, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu. Ada tiga kesepakatan dicapai, yakni : pertama, Komisi II DPR RI menyetujui penundaan tahapan Pilkada 2020 yang belum selesai dan belum dapat dilaksanakan; kedua Pilkada lanjutan akan dilaksanakan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR dengan Pengaturan lebih lanjut melalui Perppu; ketiga, kepala daerah yang melaksanakan Pilkada 2020 untuk merealokasi dana Pilkada 2020 yang belum terpakai untuk penanganan pandemi Covid-19. Dalam rapat itu juga diungkap tiga opsi skenario penundaan yakni ditunda tiga bulan hingga 9 Desember 2020, ditunda 6 bulan hingga 17 Maret 2021, dan ditunda satu tahun hingga 29 September 2021. Mengenai penundaan tersebut, KPU telah mengeluarkan Surat Keputusan KPU No. 179 Tahun 2020, yang memutuskan untuk menunda empat tahapan pilkada yang berada dalam rentang waktu hingga 28 Mei 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Urgensi Perppu Pilkada
Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 merupakan amanat dari UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, khususnya Pasal 201 ayat (6) yang secara eksplisit menyebutkan, pilkada hasil pemilihan 2015 dilaksanakan pada September 2020. Konsekuensi dari keputusan Pemerintah, DPR dan Penyelenggara Pemilu akan memiliki legalitas yang kuat jika diadopsi melalui perubahan UU. Sehingga, pilihan yang tersedia adalah mekanisme perubahan UU melalui revisi yang dilakukan oleh DPR atau melalui Perppu yang disusun oleh pemerintah untuk kemudian mendapat penetapan DPR. Opsi Perppu karenanya menjadi lebih rasional jika dikaitkan dengan kondisi objektif yang berlangsung saat ini.
Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menetapkan tiga syarat adanya kegentingan yang memaksa untuk mengeluarkan Perppu. Dalam konteks Perppu untuk Pilkada serentak 2020, maka syarat tersebut telah terpenuhi. Pertama, adanya kebutuhan mendesak menyelesaikan masalah hukum secara cepat sebagai konsekuensi penundaan jadwal Pilkada.
Diharapkan setelah Perppu Pilkada keluar, maka KPU dapat menindaklanjuti secara segera aturan turunan teknis penyelenggaraan tahapan Pilkada yang telah ditunda sehingga sifat sontak dan segera dari Perppu tersebut terpenuhi guna memecahkan masalah hukum. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai karena UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak memberikan pengaturan tentang penundaan Pilkada serentak. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama. Hal ini terkait dengan situasi yang tidak memungkinkan secara ideal DPR membahas dan menetapkan perubahan UU Pilkada dalam suasana pandemi Covid-19.
Klausul Perubahan
Perppu memang kewenangan pemerintah, namun tetap harus dibuat secara cermat karena penetapannya memerlukan persetujuan DPR agar dapat diundangkan. Oleh karena itu, Perppu Pilkada sebaiknya diarahkan pada hal-hal yang perlu pengaturan secara mendesak dan menjawab kebutuhan objektif yang dihadapi saat ini. Hal-hal yang bersifat prospektif dan ideal akan lebih baik jika dibahas dalam revisi UU Pilkada oleh DPR ketika situasi telah berjalan normal kembali. Hal ini menyangkut prinsip demokrasi dimana DPR sebagai wakil rakyat memiliki kewenangan untuk membuat suatu UU. Dalam hal perumusan Perppu Pilkada yang baru, beberapa isu penting yang dapat diadopsi antara lain :
Pertama, aturan mengenai kewenangan penundaan, kapan melanjutkan tahapan pemilihan, dan kapan pemilihan kepala daerah akan dilanjutkan kembali. Hal ini setidaknya telah menjadi problem utama dan faktual yang mendorong perubahan jadwal tahapan Pilkada dan dihadapi oleh penyelenggara pemilu.
Kedua, kelanjutan status penyelenggara pemilu di daerah yang telah direkrut dan diputuskan. Bahwa penyelenggara pemilu di daerah yang bersifat adhoc ini terikat dengan tahapan penyelenggaran Pilkada, dengan keputusan penundaan maka akan berimplikasi pada status mereka. Hal ini tentu perlu diatur lebih lanjut dalam Perppu karena menyangkut produk hukum yang telah dihasilkan dari proses yang sebelumnya diatur dalam UU No. 10 Tahun 2016.
Ketiga, sumber pembiayaan Pilkada. Mengingat adanya kebijakan untuk realokasi dan refocusing anggaran dalam kerangka penanganan Covid-19 di daerah, maka Perppu perlu memberikan pengaturan baru tentang sumber anggaran Pilkada, apakah akan dialokasikan dari APBN, APBD atau gabungan keduanya. Kepastian sumber anggaran ini penting guna memastikan ketersediaan anggaran dan menghindari terjadinya politisasi anggaran.
Keempat, sinkronisasi aturan mengenai pidana terkait dengan politik uang, terutama ancaman sangsi, mekanisme pelaporan dan tindaklanjut penanganan. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan kualitas Pilkada serentak dan mengintegrasikan aturan-aturan mengenai politik uang yang juga diatur dalam UU lainnya.
Penulis adalah lulusan doktor UI dan dosen