BIREUEN|METRO ACEH – Buntut gagalnya penyitaan uang hasil transaksi bisnis narkoba jaringan internasional, atas nama Murtala Ilyas yang jadi pengungkapan terbesar oleh BNN Pusat, dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 144 miliar lebih menuai kritikan dari warga Bireuen, akibat putusan akhir hanya Rp 2,8 miliar yang dirampas untuk negara sedangkan sisanya dikembalikan kepada bos jaringan narkoba internasional tersebut.
Sejak semula, berbagai kalangan di wilayah itu memang sudah mencium aroma busuk, dibalik proses hukum dan peradilan perkara “komersil” tersebut. Awalnya, majelis hakim PN Bireuen memvonis Murtala 19 tahun penjara, serta menyita seluruh uang rampasan. Tapi, pada putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh, Murtala Ilyas divonis empat tahun penjara, serta Rp 2.8 M uang disita untuk negara. Sisanya harus dikembalikan ke kas negara.
Ironisnya, saat kasasi ke Mahkamah Agung RI keputusan hakim, memperkuat putusan PT Banda Aceh namun hukuman badan ditambah menjadi delapan tahun penjara, serta seluruh uang miliknya yang pernah disita, harus dikembalikan kepada terpidana itu seperti putusan PT Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kondisi ini, dinilai sebagai bentuk kegagalan jaksa Kejari Bireuen, selaku aparatur yang paling bertanggung jawab untuk merampas paksa uang sitaan hasil transaksi bisnis narkoba yang merupakan musuh bangsa, bukannya memberi akses serta kemudahan bagi para mafia pelaku TPPU narkoba, yang membiayai kartel tertentu dari kalangan warga Aceh, khususnya asal Kabupaten Bireuen yang selama ini eksis di jaringan hitam tersebut.
“Kesannya sangat aneh, hasil tangkapan BNN sebesar itu kenapa harus gagal disita oleh jaksa. Kami berharap pihak koorps Adhyaksa di Bireuen, bekerja profesional lah sedikit. Jangan terbelalak melihat uang sebesar itu, lantas mengabaikan perang melawan narkoba,” ungkap Iskandar (32) warga Peudada.
Sejumlah sumber jaringan narkoba di Bireuen mengaku, kasus Murtala yang bergulir di lembaga penegakkan hukum, hingga ke peradilan menjadi ladang empuk para oknum yang terlibat dalam proses persidangan. Karena, jumlah uang sitaan dalam jumlah fantastis itu, menarik minat berbagai pihak untuk ikut mencicipi uang narkoba ini.
“Selain jaksa, hakim PN, PT dan MA yang ikut menerima uang, pihak rutan Bireuen serta Kanwil Kemenkum HAM Aceh, juga mendapat jatah dari Murtala Ilyas yang telah dikemas dalam bungkusan plastik,”ungkap sumber itu.
Malahan sumber lain menyebutkan, ada oknum wartawan juga ikut menerima uang Rp 50 juta dari Murtala, supaya isu itu tak lagi berkembang ke media massa. Sehingga, publik tak lagi mengingat skandal ini, yang melibatkan para aparatur negara dalam proses hukum yang sangat rancu ini. Bukan hanya membungkam informasi publik saja, tetapi terpidana ini juga dengan mudah dipindahkan ke Rutan Banda Aceh.
Sementara itu, Kasi Pidana Umum Kejari Bireuen, T Hendra Gunawan SH yang dikonfirmasi Metro Aceh, Rabu (21/11) membantah tudingan itu. Dia mengaku, pihaknya sudah bekerja maksimal dalam proses perkara tersebut. Hanya karena sudah menjadi keputusan pada tingkat MA, maka JPU harus tunduk terhadap putusan tertinggi di negeri ini.
“Pada peradilan di Pengadilan Negeri Bireuen, keputusan majelis hakim sudah sesuai. Maka, kami tidak bisa dinilai gagal. Namun, karena terpidana ini naik banding maka keputusannya berbeda, hingga keluar putusan kasasi dari Mahkamah Agung yang harus kami eksekusi,” jelasnya.
Dia menyebutkan, berdasarkan putusan kasasi Nomor : 250 K/PIDSUS/2018 yang hakim MA menetapkan, agar seluruh harta bergerak dan tak bergerak serta uang tunai yang disita BNN pusat, harus dikembalikan kepada pihak terpidana. Selain itu, uang sebesar Rp 142.131.500.000 juga turut dikembalikan untuk Murtala Ilyas.
“Apa yang sudah kami lakukan tidak bisa dianggap gagal, karena dari proses Rantut hingga ke peradilan sudah sesuai prosedur hukum. Untuk putusan itu ranahnya majelis hakim. Kami sudah meminta petunjuk ke Kejagung RI terkait perkara ini, tapi karena sudah inkrah maka kami eksekusi pada 20 Agustus lalu,” jelas Hendra.
Dia berharap, semua pihak agar dapat melihat persoalan ini secara objektif, serta tidak tendensius yang malahan bisa menyudutkan pihak kejaksaan. Karena JPU sudah bekerja secara maksimal, meskipun hasil akhir belum optimal. (Bahrul)