oleh Stanislaus Riyanta
Berdasarkan catatan Kepolisian Daerah Papua, tercatat sepanjang tahun 2019 ada 23 kasus penembakan yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata beberapa wilayah Propinsi Papua. Kelompok Kriminal Bersenjata tersebut telah mengakibatkan 20 korban meninggal dunia, yang berasal dari aparat TNI, Polri dan masyarakat sipil.
Aksi keji dari KKB yang juga dikenal dengan sebutan OPM (Organisasi Papua Merdeka) tersebut terjadi di Puncak Jaya, Jayawijaya, Mimika dan Paniai. Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw juga menyebutkan bahwa saat ini sudah muncul kelompok baru yang dipimpin oleh Egianus Kagoya, yang sepanjang tahun 2019 gencar melakukan aksi penembakan. Kagoya juga melakukan aksi pembunuhan terhadap 17 orang pekerja Istaka Karya di Distrik Yigi Kabupaten Nduga pada 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melihat aksi yang dilakukan oleh OPM tersebut, maka perlu ditinjau ulang predikat yang diberikan oleh aparat keamanan kepada OPM hanya dengan Kelompok Kriminal Bersenjata. Dengan predikat ini maka penanganan yang dilakukan mengacu kepada penanganan masalah kriminal oleh aparat penegak hukum. Namun jika dicermati aksi-aksi yang dilakukan adalah aksi teror yang sudah menimbulkan korban jiwa tidak sedikit, menggunakan senjata seperti pasukan militer, dan menggunakan taktik seperti perang. Jika melihat model aksi, persenjataan, dan tujuan politik kelompok OPM yang ingin memisahkan diri dari Indonesia maka predikat yang tepat bagi mereka adalah teroris.
Jika merujuk pada UU No 5 Tahun 2018 tentang Antiterorisme maka definisi terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan. Definisi dari pasal tersebut sudah sangat jelas menunjukkan bahwa berdasarkan catatan dan fakta yang ada kelompok OPM lebih tepat jika disebut sebagai teroris daripada KKB.
Aksi kelompok teroris OPM yang sangat meresahkan dan menganggu jalannya pembangunan tersebut harus ditangani secara komprehensif. Pemerintah harus melakukan kanalisasi mana masyarakat Papua yang mendukung NKRI untuk diajak ikut berkontribusi secara aktif dalam pembangunan, serta mana yang merupakan kelompok teroris yang merongrong masyarakat dan pemerintah bahkan hingga melakukan aksi-aksi keji yang menimbulkan korban jiwa. Kanalisasi perlu dilakukan supaya kelompok teroris OPM tersebut tidak membaur dengan masyarakat. Jika ini terjadi maka kelompok OPM bisa melakukan berbagai manipulasi termasuk menjebak aparat keamanan dan menghadapkan dengan isu-isu HAM.
Pendekatan terhadap masyasrakat yang Pro NKRI harus terus dilakukan agar masyarakat tetap menaruh kepercayaan yang tinggi kepada pemerintah serta tidak mudah untuk digalang oleh kelompok teroris OPM. Jika kelompok teroris OPM melakukan aksi bersenjata dan berlindung di medan ekstrim maka pilihan terakhir adalah negara melakukan tindakan tegas dengan menempatkan TNI dalam garis depan. Pilihan ini tidak perlu ragu untuk diambil mengingat aksi-aksi teror yang dilakukan oleh OPM sudah cukup meresahkan. Aksi oleh TNI untuk memberantas OPM tentu bersinergi dengan Polri terutama jika perlu dilakukan penegakan hukum.
Pemberian predikat teroris kepada OPM tidak perlu diragukan lagi. Penanganan hanya dengan pendekatan keamanan oleh aparat penegak hukum dalam konteks penanganan masalah krikminal tidak cukup. Untuk menekan OPM yang menggunakan senjata standard militer, mampu berlindung di medan ekstrim, dan mempunyai tujuan politik untuk memisahkan diri dari NKRI maka perlu penetapan status kelompok OPM sebagai teroris, sehingga TNI dan Polri bisa bersinergi secara lebih kuat lagi, dan melakukan tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
*) Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme