JAKARTA|METRO ACEH-Remisi yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada I Nyoman Surasma, terpidana pembunuhan jurnalis Radar Bali, dari hukuman seumur hidup jadi 20 tahun penjara. Dikabarkan telah memantik rasa kekecewaan insan pers di tanah air.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, mengecam keras tindakan kepala negara ini. Karena, dinilai sebagai bentuk sikap yang bertentangan dengan semangat kebebasan pers. Mengingat, Surasma merupakan otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa jurnalis Harian Radar Bali, sekitar sepuluh tahun silam.
Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan melalui siaran pers yang diterima Metro Aceh, Rabu (23/4) menjelaskan, Keppres No 29 tahun 2018, tentang pemberian remisi perubahan dari penjara seumur hidup, menjadi pidana sementara tertanggal 7 Desember 2018, telah menuai kontroversi dan memicu reaksi kekecewaan komunitas jurnalis di tanah air.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasalnya, diantara 115 terpidana itu ada nama Surasma, yang dengan sadis telah menghabisi nyawa Prabangsa, karena mengungkap berbagai dugaan korupsi yang melibatkan terpidana ini kala itu. Lalu, berdasarkan fakta persidangan dia terbukti memerintahkan, anak buahnya untuk menjemput korban dikediaman orang tuanya di Taman Bali, Bangli pada 11 Februari 2009.
Abdul Manan mengisahkan, berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan ketika itu, setelah dijemput paksa korban lalu dibawa ke halaman belakang rumah terpidana di kawasan Banjar Petak, Belalang, Bangli. Kemudian, Surasma menyuruh anah buahnya, memukul dan menyiksa Prabangsa.
Korban dalam kondisi sekarat, lantas dibawa ke Pantai Goa Lawah, di Dusun Belatung, Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung. Selanjutnya, dinaikkan ke perahu dan dibuang ke tengah laut. Kasus itu, baru diketahui setelah jasad jurnalis kritis ini ditemukan mengapung oleh awak kapal, saat melintasi Teluk Bungsil, Bali lima hari kemudian.
Berdasarkan data AJI sebut Abdul Manan, peristiwa itu merupakan satu dari sederet kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia yang telah diungkap, serta diproses hukum. Sedangkan beberapa kejadian pembunuhan insan pers lainnya, hingga kini tak pernah tersentuh hukum.
Diantaranya, pembunuhan Fuad M Syarifuddin (Udin) wartawan Harian Bernas Jogya (1996), Herliyanto wartawan Radar Surabaya (2006), Ardiansyah Matrais wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010) serta Alfrets Mirulewan wartawan Tabloid Pelangi di Pulau Kisat, Maluku Barat Daya (2010).
“Kasus pembunuhan keji Prabangsa ini, diproses hukum dan Surasma sebagai pelaku utama, dijatuhi vonis seumur hidup, atau lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman mati,” sebut Abdul Manan.
Dalam sidang 15 Februari 2010, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, menghukum Surasma seumur hidup dan delapan anak buahnya, yang berperan sebagai eksekutor dihukum bervariasi. Mulai lima hingga 20 tahun penjara, atas perbuatan menghilangkan nyawa jurnalis Radar Bali tersebut. Meski naik banding, tapi Pengadilan Tinggi (PT) Bali menolak upaya hukum para pembunuh sadis itu. Bahkan, tingkat kasasi di Mahkamah Agung juga tak mengurangi hukuman bagi sembilan penjahat itu.
“Anehnya, kini Presiden Jokowi malah memberi keringanan hukuman kepada Surasma. Melalui Keppres No 29/2018 yang melukai rasa keadilan, serta tidak memperlihatkan komitmen negara untuk mendukung kebebasan pers di tanah air,” tukasnya.
Atas keputusan tersebut, AJI Indonesia mengecam keras remisi Presiden RI kepada pelaku pembunuhan keji itu, dan menyatakan kebijakan kepala negara ini melukai rasa keadilan, baik terhadap pihak keluarga korban maupun jurnalis se-Indonesia.
AJI sebagai salah satu organisasi profesi yang menjadi konstituen Dewan Pers, mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut keputusan tersebut. Khususnya, mencoret nama Surasma dari daftar penerima remisi.
“Kami menilai, kebijakan seperti ini tidak arif karena terkesan kurang bersahabat bagi pers Indonesia. Jika para pelaku tindakan pembunuhan jurnalis, diberikan keringanan hukuman. Maka iklim impunitas akan tumbuh semakin subur, sehingga para pelaku kekerasan tidak akan jera dan berpotensi memicu lagi perlakuan kasar terhadap jurnalis di masa mendatang,” jelas Abdul Manan. (Bahrul)