Oleh : DR Ade Reza Hariyadi
Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law. Hal ini sebagai respon terhadap aspirasi pekerja yang diwakili Presiden KSPSI, Andi Gani Nena Wea, Presiden KSPI, Said Iqbal, dan Presiden KSBSI, Elly Rosita Silalaban dalam pertemuannya dengan Presiden Jokowi pada 22 April 2020.
Sebelumnya, serikat kerja telah jelas menyatakan penolakannya terhadap sejumlah pasal dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan pekerja. Bahkan, serikat kerja juga mengancam akan unjuk rasa pada 30 April 2020 guna kembali menyuarakan penolakannya terhadap pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja yang direncanakan berlanjut meski di tengah kondisi pandemi Covid-19. Suara kritis juga datang dari pimpinan DPR yang berasal dari partai pendukung pemerintah yang menyatakan agar pembahasan omnibus law klaster ketenagakerjaan dihentikan sementara. Bahkan, sejumlah fraksi di DPR seperti PKS dan PD menolak mengirimkan perwakilannya dalam Panja pembahasan omnibus law.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain pembahasan omnibus law yang sebagian telah masuk dalam Prolegnas 2020, DPR juga punya kewajiban untuk segera menyelesaikan revisi UU Otsus Papua yang akan berakhir pada 2021. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 21/2001 tentang Otsus Papua, pelaksanaan Otsus Papua selama 20 tahun dan akan segera berakhir.
Sementara, berkembang aspirasi dan political will baik dari pusat dan daerah untuk melanjutkan pelaksanaan Otsus Papua dan mengevaluasi berbagai kelemahannya sehingga dapat diperbaiki melalui revisi UU Otsus Papua yang baru. Hal ini membuat pembahasan omnibus law maupun revisi UU Otsus Papua merupakan agenda strategis yang tetap memerlukan perhatian dan partisipasi seluruh pihak. Baik DPR maupun pemerintah perlu membuat terobosan mekanisme teknis untuk tetap menjaring aspirasi masyarakat sehingga aspek representasi kepentingan masyarakat tetap terwakili.
Menentukan Prioritas
Secara faktual, Indonesia menghadapi persoalan terkait dengan kondisi yang disebut sebagai over regulatocracy, suatu kondisi yang ditimbulkan akibat banyaknya aturan yang dibuat untuk melindungi kepentingan pemerintah pada umumnya. Hal ini ditunjukkan dengan fenomena dimana sebuah objek seringkali diatur oleh berbagai aturan yang tersebar dan saling tumpang tindih. Menurut Presiden Jokowi, ada sekitar 8.451 peraturan pusat dan 15.985 peraturan daerah yang menyebabkan kondisi obesitas regulasi dan membuat kita terjerat dalam aturan yang dibuat sendiri.
Hal ini sejalan dengan riset PSHK yang menyatakan ada 42.996 regulasi yang terdiri dari peraturan pusat sebanyak 8.414, peraturan menteri 14.453, peraturan lembaga pemerintah nonkementerian 4.164, dan peraturan daerah sebanyak 15.965 di Indonesia. Beragam aturan tersebut terutama muncul pada cabang kekuasaan pemerintahan atau eksekutif baik di level Kementerian maupun pemerintah daerah. Suatu UU yang dibuat oleh DPR dalam pelaksanaannya akan memunculkan beragam pengaturan teknis yang tersebar di berbagai kementerian maupun lembaga.
Kondisi obesitas regulasi terjadi akibat tidak berlangsungnya pengawasan dan evaluasi terhadap regulasi secara efektif, proses penyusunannya tanpa perencanaan yang matang sehingga tidak akuntabel dan tidak transparan, serta adanya inkonsistensi dalam pengaturan. Implikasinya, terjadi birokratisasi pelayanan publik, pembengkakan postur organisasi pelayanan, hingga potensi pungli dan korupsi dalam pelayanan publik.
Masalah tersebut telah menyebabkan inefisiensi dalam penyelenggaraan negara, membebani masyarakat penerima layanan, hingga menghalangi laju peningkatan kesejahteraan dan pembangunan nasional. Sehingga, wajar jika pemerintah mendorong perlunya reformasi sektor regulasi melalui pendekatan omnibus law.
Dalam reformasi regulasi melalui omnibus law, pemerintah dan DPR perlu menentukan prioritas sektor yang akan ditangani berdasarkan urgensi dan kebutuhan riil masyarakat, semisal dengan RUU Kesehatan Nasional, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, RUU Keamanan Laut. Aspek formil, materil dan filosofis dari omnibus law perlu untuk dimatangkan sehingga dapat menghasilkan suatu UU yang sejalan dengan kepentingan publik dan memberikan manfaat.
Sementara itu, mengenai revisi Otsus Papua, pemerintah bersama DPR perlu segera fokus dan memprioritaskan mengingat masa berakhir Otsus Papua tahun 2021. Setidaknya, revisi Otsus Papua dapat selesai pada tahun 2020 sehingga aturan turunan yang diperlukan dapat dilengkapi. Problem faktual dalam pelaksanaan Otsus Papua harus menjadi pijakan dalam revisi UU Otsus Papua. Sejumlah isu penting seperti realitas kemiskinan dan ketimpangan pembangunan perlu diperhatikan.
Selain itu, masalah mekanisme alokasi, akuntabilitas dan pengawasan dana Otsus perlu untuk diperbaiki agar tepat sasaran. Begitu pula dengan dengan lemahnya tata kelola pemerintahan daerah dan perencanaan pembangunan daerah juga merupakan problem faktual dari pelaksanan Otsus yang perlu direspon dalam revisi UU Otsus Papua. Melalui revisi UU Otsus Papua, tentu semua berharap kelemahan regulasi Otsus dan aturan turunannya dapat diperbaiki sehingga Otsus Papua dapat menjadi jalan keluar bagi akselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
Penulis adalah doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) dan dosen