Oleh: Otjih Sewandarijatun *)
Publik terhentak dengan aksi penembakan puluhan pekerja sipil proyek Jalan Trans Papua di Distri Yigi, Nduga, Papua pada Desember 2018. Korban berjatuhan juga terjadi pada tahun 2019, 20 korban meninggal baik sipil maupun militer di Papua dalam 23 kasus penembakan. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer OPM mengklaim berada di balik aksi-aksi brutal tersebut. Selain itu, OPM dan simpatisannya juga aktif dalam politik dengan propaganda kemerdekaan dan isu pelanggaran HAM di Papua baik dalam negeri maupun forum internasional, sebagaimana manuver ULMWP dan Benny Wenda dengan menyusup ke dalam delegasi Vanuatu di forum-forum internasional.
Melihat aksi OPM, tampak jelas adanya motivasi politik yang didukung penggunaan kekerasan bersenjata. Korban jiwa, kerusakan infrastruktur, ketakutan massa serta gangguan Kamtibmas terjadi akibat aksi OPM di Papua. OPM sebagai suatu entitas telah beroperasi dalam dua arena penting, pertama sayap militernya menciptakan ancaman keamanan dan teror, serta kedua sayap politik aktif menggalang pengakuan dan intens di luar negeri. Strategi OPM ini ancaman bagi kepentingan nasional dan perlu direspon dengan cara pandang serta pendekatan baru hingga dapat ditangani secara komprehensif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah kaprah KKB
Selama ini pemerintah menggunakan pendekatan hukum dan keamanan konvensional dalam menangani aksi OPM. Penyebutan OPM dan seluruh aksinya sebagai KKB membatasi ruang gerak pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan komprehensif secara terukur guna mencegah dan menanggulangi keberadaan OPM. Tidak ada kerangka hukum yang terintegrasi untuk menangani aksi OPM dan simpatisannya. Selama ini pemerintah mengandalkan tindakan pemidanaan umum dalam menangani anggota OPM yang tertangkap, dan pasal-pasal tentang makar bagi aktivis simpatisan OPM seperti yang dilakukan 6 aktivis pro Papua merdeka yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di Istana tahun 2019 lalu. Oleh karena itu, menempatkan OPM sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan pendekatan criminal justice system yang bersifat konvensional tentu tidak akan memadai.
Pola, tindakan dan dampak yang ditimbulkan dari aksi OPM sangat jelas memenuhi definisi Terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan, sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Penyebutan dan penanganan OPM sebagai KKB justru membatasi peranan pemerintah untuk melakukan tindakan yang lebih efektif dan komprehensif. Aksi OPM dan simpatisannya harus dilihat sebagai non conventional threat sehingga perlu pendekatan yang bersifat lex specialist dan extra ordinary dengan menjadikan UU Terorisme sebagai payung hukum untuk mengintegrasikan kebijakan dan aktor-aktor yang terlibat dalam penanganan OPM. Oleh karena itu sangat urgen bagi pemerintah untuk menyatakan OPM sebagai organisasi teror, disusul dengan tindakan yang ditimbulkan sebagai konsekuensinya.
Pertimbangan Objektif dan Subjektif
Pernyataan OPM sebagai organisasi teror tentu memiliki segudang alasan objektif maupun subjektif. Secara objektif, OPM telah mendeklarasikan secara terbuka bertanggungjawab atas sejumlah kasus perusakan infrastruktur publik dan pembunuhan yang terjadi bertahun-tahun di Papua. OPM jelas-jelas memusuhi pemerintah Indonesia dan berniat merdeka baik dengan cara politik maupun kekerasan bersenjata. Sasaran OPM tidak hanya instalasi militer, tetapi berbagai objek dan warga sipil. Ketakutan massa yang meluas dan menimbulkan sejumlah gejolak sosial dan keamanan di Papua tidak bisa dibiarkan berlarut akibat ulah OPM. Konflik di Nduga, Manokwari dan sejumlah daerah di Papua disinyalir akibat operasi yang dilakukan OPM.
Sementara itu, secara subjektif bahwa pemerintah Indonesia merupakan otoritas yang sah untuk menafsirkan UU Terorisme dan mengklasifikasikan OPM sebagai organisasi teror dan anggota serta simpatisannya sebagai teroris. Hampir seluruh negara di dunia memiliki instrumen untuk menetapkan suatu kelompok sebagai organisasi teror dalam rangka melindungi kepentingan nasionalnya. Semisal, Kemenlu setiap 30 April menyusun laporan tentang terorisme, terutama kaitannya dengan negara-negara dan kelompok sesuai hukum yang berlaku di AS. CIA sendiri menetapkan 6 organisasi teror di Asia Tenggara, termasuk dalam penetapan oleh AS adalah Jemaah Anshorut Daulah (JAD), Jaringan Islamic State of Iraq and as-Sham (ISIS), dan Jemaah Islamiyah (JI) yang beroperasi di Indonesia. Bahkan, pemerintahan Trump baru-baru ini secara sepihak menyatakan Garda Revolusi Iran sebagai organisasi teror karena dianggap mengancam kepentingan AS di Timur Tengah. Begitu pula dengan pengadilan Mesir memasukan 145 orang dalam “Daftar Teroris Negara”, sebagian besar berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin atas tudingan merencanakan kekerasan dan menentang pemerintahan presiden Abdel Fattah al-Sisi. Sedangkan Inggris menyatakan Irish Republican Army (IRA) yang menuntut pemisah diri sebagai organisasi teror. Hal itu menunjukan bahwa setiap pemerintahan negara memiliki kewenangan dan kedaulatan dalam kebijakan anti terornya serta mendefinisikan kepentingan nasional yang harus dilindunginya.
Konsekuensi penetapan OPM sebagai organisasi teror akan mengintegrasikan seluruh aktor dan kebijakan dalam penanganan OPM dan simpatisannya. Publik menanti langkah maju dari pemerintah Indonesia, dalam hal ini Polri untuk segera menyusun Daftar Organisasi dan Pelaku Terorisme dengan memasukan OPM dan mengajukan penetapannya di pengadilan. Langkah tersebut akan semakin efektif jika ditindaklanjuti dengan usulan pemerintah agar OPM masuk dalam Daftar Organisasi dan Pelaku Terorisme yang dibuat oleh PBB dan mengembangkan kerjasama global dalam membatasi ruang gerak OPM. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah Indonesia berdaulat atas kebijakan dalam negeri tentang pemberantasan terorisme, dan sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia menganut due process of law, karenanya tidak dapat dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM.