Oleh Stanislaus Riyanta*)
Kepanikan melanda dunia. Virus corona menyebar ke mana-mana. Hingga tulisan ini dibuat, telah 1000 lebih korban yang meninggal akibat terjangkiti virus itu.
Di tengah kepanikan tersebut ternyata ada yang mencoba untuk meraup keuntungan dengan melambungkan harga masker. Praktik memperoleh keuntungan di atas penderitaan banyak orang ini tentu tidak sehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melambungnya harga masker membuat Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengusut kasus tersebut. Hal itu dinilai mengindikasikan tindakan mengambil untung berlebihan atau excessive margin yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (CNN Indonesia, 6/2/2020). Melambungnya harga masker baru satu contoh kasus persaingan usaha tidak sehat. Ada juga kasus-kasus lain yang menyedot perhatian publik, salah satunya impor garam.
Masalah garam menjadi perhatian banyak pihak karena Indonesia adalah negara penghasil garam, tapi sejak dulu mengimpor garam. Berbagai wacana yang bertolak belakang tentang hal itu bermunculan. Ada yang menganggap impor terus dilakukan karena kualitas garam lokal dan jumlah produksinya tak bisa memenuhi kebutuhan industri. Ada juga yang menyatakan bahwa impor terus berlangsung karena berkaitan dengan isu kartel garam impor, walaupun hal itu sulit dibuktikan dan KPPU telah memutuskan tidak ada praktik kartel dalam perdagangan garam industri di Indonesia (CNBC Indonesia, 31/07/2019).
Dalam dunia usaha, monopoli dan persaingan yang tidak sehat selalu muncul. Upaya menghapus keduanya mensyaratkan perubahan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang sudah berusia lebih dari 20 tahun. Untuk diketahui, DPR telah berinisiatif melakukan revisi undang-undang itu pada periode 2014-2019; namun hingga saat ini, pembahasan RUU itu tak kunjung tuntas. Berikut hal-hal yang dapat dijadikan sebagai bahan dalam pembahasan RUU itu.
Hal pertama yang penting dan mendesak untuk diatur dalam Undang-Undang yang baru adalah status kelembagaan KPPU. Status kelembagaan KPPU perlu penguatan sehingga lebih efektif dalam melakukan proses investigasi terhadap kartel atau perusahaan yang melakukan monopoli.
Hal kedua adalah memperluas definisi pelaku usaha, yang dalam hal ini berhubungan dengan domisilinya. Di pasal 1 huruf e Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha yang menjadi obyek Undang-Undang tersebut adalah mereka yang berkedudukan atau melakukan aktivitas usahanya di wilayah Indonesia. Padahal, pelaku dan kegiatan usaha yang berada di luar wilayah Indonesia juga dapat memiliki dampak bagi perekonomian Indonesia.
Hal terakhir adalah soal perubahan notifikasi merger. Selama ini, semua merger atau pengambilalihan perusahaan harus dilaporkan ke KPPU setelah merger atau akuisisi terjadi. Yang selama ini terjadi, KPPU belum pernah membatalkan transaksi merger. Merger atau akuisisi sangat berpotensi memunculkan monopoli, bahkan kartel. Dalam revisi Undang-Undang nanti, bagi pelaku usaha yang ingin melakukan merger atau akuisisi mestinya melapor terlebih dahulu ke KPPU. Jika mendapatkan izin, barulah merger dilakukan.
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat harus segera diwujudkan oleh DPR. Jika tidak maka praktik-praktik yang tidak sehat bisa terus terjadi, dan tentu saja sangat berbahaya jika praktik itu juga terjadi dengan memanfaatkan situasi darurat kemanusiaan.
*) Stanislaus Riyanta, mahasiswa doktoral bidang Kebijakan Publik Universitas Indonesia