Oleh ; Andi Naja FP Paraga
Permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi sudah mulai di sidangkan akan tetapi masih banyak yang akan memasukkan Uji Materi dan Uji Formil baik atas nama Lembaga maupun Perseorangan. Tidak dapat dipungkiri banyak pasal-pasal yang dinilai merugikan bahkan mengkawatirkan jika tetap dipertahankan dan bertentangan dengan pasal-pasal yang ada didalam Undang-undang Dasar 1945.
Ditengah Pemerintah mempersiapkan dan mematangkan Peraturan Pemerintah(PP)pelaksana UU Ciptakan Kerja Para Pemohon mencoba mengkonstruksi keyakinannya bahwa apa yang tersajikan didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja layak untuk dirubah bahkan membatalkan keseluruhan UU ini. Tentu keyakinan itu tidak sekedar keyakinan tanpa didukung dasar dan argumentasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kami (Konfederasi) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia termasuk yang menginginkan perubahan-perubahan pasal terutama yang berkaitan dengan Bab ketenagakerjaan yang dulu ketika masih RUU dikenal dengan Klaster Ketenagakerjaan. Pasal 81 butir 15 halaman 539 UU No. 11 Tahun 2020 tentang Ciptakan Kerja ini tentang Perjanjian Kerja Waktu tertentu tidak memberikan Jaminan Kepastian Kerja. Hal ini berbeda dengan Ketentuan pasal 59 Ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 yang memberi jaminan bahwa paling lama 3 tahun seseorang bekerja dapat menjadi PKWTT atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Dengan dicabutnya pasal 59 Ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagaan tersebut berarti tidak ada lagi pembatasan waktu status Buruh kontrak atau PKWT. Dengan demikian berarti pula memberi peluang secara hukum menyandang status Buruh Kontrak/PKWT selama-lamanya. Justru sistem inilah yang ditolak dan dihapus oleh Ir Sukarno Presiden Pertama RI yang telah digunakan Penjajahan Belanda selama menjajah Indonesia.
Bahwa Pasal 59 UU Nomor 11 Tahun 2020 tanpa Ayat 4 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 secara keseluruhan bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 karena tidak memberikan Jaminan Kepastian Kerja selanjutnya hidup layak bagi kemanusiaan yang berarti juga jaminan hidup sejahtera jauh dari harapan Buruh Indonesia. Pada Pasal-pasal lain misalnya pasal 81 butir 18 dan 19 UU Cipta Kerja menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 Nomor 13 Tahun 2003 yang membahas jenis pekerjaan yang boleh dioutsorcingkan, Sementara pada UU Cipta Kerja tidak membatasi jenis pekerjaan yang boleh dioutsourcingkan.
Demikian pula halnya pada pasal 81 butir 26 UU Cipta Kerja mencabut Pasal 89 dan Pasal 90 UU Nomor 13 Tahun 2003 Upah Minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan. Kita pun harus memperhatikan Pasal 90 ayat 1 UU No. 13 berbunyi “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum. Bila dilakukan ada pidananya 4(empat) tahun penjara. Dengan pasal 89 dan 90 itu tidak ada lagi peranan Tripartit (Pengusaha, Pemerintah dan Buruh) seperti sekarang didalam menetapkan Upah Minimum. Gubernur dimungkinkan cukup berunding dengan Apindo dan Kadin tanpa representasi Buruh, bahkan tidak terdapat sanksi bagi pengusaha yang membayar upah dibawah UMP, padahal perundingan upah adalah salah satu tugas/fungsi penting dari Serikat Buruh.
Ketika Perlindungan Upah Buruh/Pekerja lemah dengan tidak adanya lagi peranan Tripartit didalam memutuskan pengupahan serta tidak adanya larangan pengusaha membayar upah dibawah Upah Minimum Propensi padahal upah adalah salah satu penentu hidup layak makan jelas bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945.Demikian pula halnya dengan PHK dan Pesangon. Pasal 81 butir 37 UU Cipta Kerja merubah isi pasal 151 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang berbunyi :
Pertama, Pemerintah, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Pemerintah mengupayakan agar tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Kedua, Dalam hal PHK tidak dapat dihindari maksud dan alasannya diberitahukan oleh pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Ketiga, Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak PHK penyelesaiannya PHK wajib dilakukan melalui perundingan Bipartit antara pengusaha dengan pekerja/Buruh dan atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Keempat, Dalam hal Perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, PHK dilakukan tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Kami menghormati Pemerintah yang dikomandoi Presiden pilihan mayoritas rakyat sebagai pengusul RUU Cipta Kerja ini ke DPR RI dan kini telah menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tapi UU Cipta Kerja ini pantas untuk diperbaiki bahkan ditolak sebagian atau seluruhnya. Sikap Presiden membolehkan Warga Negara untuk melakukan Judicial Review jelas menunjukkan dirinya sebagai sosok yang siap dikritik, walaupun demikian saya pribadi mengatur kan maaf sekiranya Kritikan melalui Judicial Review ke MK mengganggu rancangan dan rencana Presiden untuk menciptakan Indonesia maju tetapi menjadikan kami kaum Buruh menderita dengan UU Cipta Kerja ini. (ANFPP191120)
*Penulis Adalah Ketua Pengurus Pusat Federasi Media Informatika dan Grafika -PP FMIG DPP (K) SBSI