Oleh : Agung Setia Budi, S.I.P, M.Sos
Pertemuan Presiden Jokowi dengan perwakilan Presiden Bank Dunia untuk Indonesia pada 2 September 2019 memantik kegaulan Presiden Jokowi. Bank Dunia menjelaskan ada 33 perusahaan Cina merelokasi industrinya pada Juni dan Agustus 2019, tetapi tidak satupun dari sejumlah perusahaan itu tertarik berinvestasi di Indonesia. Perusahaan Cina lebih memilih ke Vietnam, Kamboja, Myanmar, Thailand dan Malaysia. Lebih memilukan lagi, sebanyak 223 Proyek Strategis Nasional (PSN ) yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN), diperkirakan hanya 103 proyek yang dapat selesai di akhir tahun 2019 alias hanya sekitar 46 persen. Hal ini terjadi salah satu faktornya pihak swasta membatasi diri terlibat dalam PSN itu.
Benang merah argumentasi para investor Cina merelokasi pabriknya di luar Indonesia dengan fakta di lapangan terkait taget capaian PSN hanya mencapai sekitar 46 persen menjadi catatan di mata investor. Lantas apa yang menjadi kendala hal itu, lagi-lagi akar persoalan krusialnya adalah pengadaan lahan dan perijinan yang pada akhirnya berkosa kata kepastian regulasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepastian regulasi strategis menyangkut pengadaan lahan dan perijinan. Dua hal ini memiliki catatan yang harus terus diperbaiki, ketika sudah mengetahui posisi kita masuk dalam pertarungan ekonomi global yang diprediksi loyo saat ini.
Dalam RPJMN 2015-2019 pemerintah mencatat kebutuhan biaya infrastruktur sebesar Rp. 5.452 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi APBN sebesar 41 persen, sisanya diperoleh dari porsi pendanaan BUMN sebesar 22 persen dari total. Sementara itu, porsi swasta mencapai 37 persen. Namun demikian, ketika pemerintah berupaya mengenjot target pencapaian PSN murni dana dari pemerintah banyak kendala pembagian porsi alokasi anggaran untuk hal itu. Disisi lain, harapan pemerintah kepada swasta untuk terlibat menyukseskan PSN terganjal pandangan para investor bagaimana kepastian regulasi agar dapat menyederhanakan permasalahan dilapangan.
Kepastian regulasi memiliki daya ungkit menstabilisasi ekonomi ketika dapat mentransmisikan gambaran besar dan nyata harmonisasi kebijakan ekonomi disertai hierarki tertinggi (undang-undang) hingga ke level kebawah peraturan terendah berpusat di Pemerintah Daerah, saling kait mengkait untuk suatu produk hukum yang dihasilkan sehingga munculnya konsistensi dan saling melengkapi mengawal setiap progres bukan sebaliknya menjadi kontraproduktif. Hal ini kata kunci menjamin kenyamaan bagi pengusaha untuk berusaha di Indonesia.
Indonesia harus secepatnya melakukan adaptasi iklim berusaha, caranya semua yang terlibat dalam perumus kebijakan dari pusat hingga daerah bersinergi memangkas beragam kegiatan dalam simplifikasi regulasi antara lain inventarisasi dan identifikasi regulasi yang terkoneksi persoalan perijinan dan investasi, serta analisis regulasi yang akan disimplifikasi. Sementara, kriteria regulasi yang akan disimplikasi yaitu regulasi yang menghambat kegiatan ekonomi atau investasi. Tidak ada lagi inkonsisten dengan regulasi yang lebih tinggi atapun sederajat bahkan bersifat multitafsir. Padahal masih mengatur ketentuan yang sama namun objeknya berbeda.
Langkah-langkah konkrit ini perlu untuk dipercepat dan didukung semua pihak agar menciptakan iklim investasi yang semakin berenergi, lincah dan memberikan kepastian para investor semakin mudah, sehingga membuat para investor berani melakukan investasi baik di Proyek Strategis Nasional dan murni swasta dalam durasi waktu yang lebih panjang. Hal terpenting lagi, mereka tidak diperlakukan sebagai objek spekulasi sesaat dan ajang pusaran perburuan rente dari regulasi yang tidak jelas.
*) Peneliti Studi Ekonomi Politik Pembangunan Wilayah