Oleh : Ade Reza Hariyadi
Pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 270 daerah yang direncanakan digelar secara serentak pada 23 September 2020 mendatang tampaknya tidak mungkin direalisasikan akibat pandemi Covid-19. Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk mengundur jadwal pemungutan suara Pilkada 2020 menjadi tanggal 9 Desember 2020 atau bergeser sekitar 2 bulan 16 hari. Meski demikian, pengunduran waktu tersebut dinilai terlalu optimistis mengingat Pilkada sebagai suatu proses politik demokratis di tingkat lokal sudah barang tentu akan melibatkan mobilisasi dan partisipasi masyarakat dalam jumlah yang besar, sementara itu kepastian akhir dari pandemi Covid-19 belum dapat diperkirakan.
Kebijakan social distancing yang kini makin ketat, pembatasan aktifitas warga tidak mengecualikan kegiatan politik dan pilkada. Hal ini tentu saja akan berdampak pada pembatasan aktifitas penyelenggara dan peserta pemilu, serta partisipasi politik masyarakat. Sehingga, keputusan penundaan tahapan pilkada dan pengunduran jadwal pemungutan suara sudah tepat. Namun, keputusan untuk menggeser menjadi tanggal 9 Desember 2020 dikesankan terlalu cepat. Mengenai hal ini, Pramono Ubaid, komisioner KPU, menjelaskan bahwa selepas 29 Mei 2020, DPR dan pemerintah akan kembali menggelar rapat untuk memastikan perhelatan pilkada, termasuk opsi untuk mengundur kembali ke tahun 2021 jika pandemi Covid-19 masih belum teratasi. Pernperkembangan4 tersebut setidaknya menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu telah menyiapka dengan berbagai opsi sesuai dengan perkembangan penanganan Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perlu Kepastian Hukum
Persoalan penundaan jadwal pemilu sebenarnya tidak hanya dialami Indonesia. Menyitir data IDEA, sekitar 20 negara di dunia terpaksa menunda pemilu lokal maupun nasional akibat pandemi Covid-19, seperti di Afrika Selatan, Perancis, Argentina, dan lainnya. Sebaliknya, Korea Selatan memutuskan tetap melanjutkan agenda pemilu nasional untuk memilih 300 anggota parlemen yang diikuti oleh 35 partai politik dengan tetap menggunakan protocol kesehatan secara ketat guna menghindari penyebaran wabah Covid-19. Sistem mitigasi wabah yang dimiliki oleh Korea Selatan memungkinkan negara itu untuk menjalankan pemilu di tengah pandemi. Kondisi ini berbeda dengan Indonesia, sehingga keputusan penundaan Pilkada sudah tepat dan tinggal dilengkapi dengan dasar hukum yang lebih kuat.
Merujuk pada amanat dari UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, perubahan terhadap tahapan Pilkada bersifat parsial pada wilayah tertentu dalam klausul tentang pemilu susulan dan lanjutan. Untuk pemilihan gubernur, penetapan pemilihan gubernur lanjutan dan susulan dilakukan menteri atas usul KPU Provinsi. Sedangkan, pemilihan bupati/walikota penetapan pemilihan bupati/walikota lanjutan dan susulan dilakukan gubernur atas usul KPU Kabupaten/Kota. Untuk pemilihan gubernur, penetapan pemilihan gubernur lanjutan dan susulan dilakukan menteri atas usul KPU Provinsi. Sedangkan, pemilihan bupati/walikota penetapan pemilihan bupati/walikota lanjutan dan susulan dilakukan gubernur atas usul KPU Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut tidak memberi ruang bagi perubahan tahapan Pilkada yang bersifat serentak dan nasional. Keputusan menunda tahapan dan memundurkan jadwal pemungutan suara pilkada serentak secara nasional karenanya memerlukan payung hukum yang lebih kuat tidak sekedar keputusan bersama antara pemerintah, DPR dan KPU. Pilihan yang tersedia adalah DPR melakukan revisi UU Pilkada atau pemerintah menerbitkan Perppu Pilkada. Kedua pilihan ini memiliki kekuatan hukum yang memberikan kepastian hukum bagi langkah teknis yang akan diselenggarakan KPU kemudian. Meski demikian dalam situasi saat ini maka opsi pemerintah untuk menerbitkan Perppu menjadi lebih realistis.
Implikasi Penundaan
Penundaan Pilkada serentak akan mengakibatkan implikasi yang kompleks, hal tersebut antara lain :
Pertama, secara yuridis pemerintah bersama DPR memiliki tanggungjawab untuk membuat regulasi yang baru sebagai dasar hukum atas perubahan tahapan pilkada serentak. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari gugatan dimasa akan datang.
Kedua, secara teknis KPU setidaknya memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan empat tahapan yang ditunda, yakni pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih, serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih. Empat tahapan tersebut dengan asumsi bahwa optimisme semua pihak bahwa pemungutan suara akan dilangsungkan pada 9 Desember 2020. Jika asumsi waktu yang ditentukan ini bergeser, maka akan menggeser pula tahapan penentuan pasangan calon, kampanye, hingga pemungutan suarpemerintah6
Ketiga, aspek anggaran juga dimungkinkan terdampak akibat kebijakan realokasi anggaran baik di pusat maupun daerah. Penanganan wabah Covid-19 telah mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk merealokasi anggaran yang tidak bisa diserap selama kebijakan PSBB untuk digunakan dalam penanganan wabah Covid-19.
Keempat, administrasi pemerintahan dimungkinkan akan terpengaruh akibat6 habisnya masa jabatan kepala daerah sebelum kepala daerah yang baru terpilih. Oleh karena itu, Kementerian Dalam Negeri memiliki pekerjaan tambahan untuk menyiapkan PLT kepala daerah atau mekanisme lainnya agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan daerah.
Kelima, perubahan konfigurasi politik lokal. Sebagian besar calon kepala daerah dan partai politik telah membangun konsensus politik sesuai dengan tahapan yang ditentukan sebelum pandemi Covid-19. Perubahan jadwal tahapan Pilkada sangat memungkinkan terjadinya dinamika yang mempengaruhi konfigurasi politik di tingkat lokal akibat munculnya faktor-faktor yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Pengunduran tahapan Pilkada serentak jelas tidak terhindarkan. Pilihan tersebut merupakan opsi terbaik dalam memastikan bahwa semua pihak bisa berkonsentrasi menangani wabah Covid-19, dan hak-hak politik masyarakat dapat diartikulasikan secara berdaulat dan dalam proses yang demokratis.
Penulis adalah doktor lulusan UI dan dosen.