Oleh : SV Farrah *)
Satgas Waspada Investasi (SWI) kembali menemukan 125 entitas yang melakukan kegiatan fintech peer-to-peer lending (pinjaman dana online) ilegal yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Akibatnya, OJK menghentikan 182 kegiatan usaha tanpa izin atau investasi bodong.
Ketua SWI Tongam L. Tobing mengatakan, kegiatan fintech peer-to-peer lending ilegal masih banyak beredar lewat website maupun aplikasi serta penawaran melalui pesan singkat (SMS). Sebelumnya, 7 Oktober 2019 lalu SWI telah menindak 133 entitas fintech peer-to-peer lending ilegal, sehingga total entitas fintech peer-to-peer lending ilegal yang ditangani SWI sampai November 2019 sebanyak 1.494 entitas dan total yang ditindak sejak 2018 hingga November 2019 sebanyak 1.898 entitas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, dari 182 investasi ilegal yang dihentikan SWI di antaranya melakukan kegiatan 164 perdagangan forex tanpa izin; 8 investasi money game; 2 equity crowdfunding ilegal; 2 multi level marketing tanpa izin, 1 perdagangan kebun kurma; 1 investasi properti; 1 penawaran investasi tabungan; 1 penawaran umrah; 1 investasi cryptocurrency tanpa izin dan 1 koperasi tanpa izin. Kegiatan 182 entitas ini dinilai berbahaya, karena memanfaatkan ketidak pahaman masyarakat untuk menipu dengan cara iming-iming pemberian imbal hasil yang sangat tinggi dan tidak wajar.
Sinyalemen atau warning yang dikemukakan Satgas Waspada Investasi perlu mendapatkan perhatian dari calon investor dan masyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan warning ini harus diterjemahkan sebagai bentuk kehadiran negara dalam rangka memproteksi masyarakat dari perilaku atau praktik âbusiness fraudâ, sekaligus memastikan bahwa para investor yang akan berinvestasi ke Indonesia akan tenang dan aman, karena SWI tidak akan membiarkan pelaku investasi bodong berkeliaran terus menerus. Adanya Satgas Waspada Investasi ini juga karena Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pasar bagi industri fintech peer-to-peer lending di era internet dan digitalisasi saat ini, karena besarnya pengguna internet di Indonesia.
Bagaimanapun juga, saat ini Indonesia membutuhkan âmembanjirnyaâ investasi domestik maupun asing untuk mendongkrak perekonomian nasional, membuka angkatan kerja yang sangat besar, sehingga pengangguran akan semakin berkurang, memperingankan defisit neraca perdagangan dan pembayaran, termasuk menginspirasi masyarakat Indonesia untuk semakin berani memasuki dunia bisnis dibandingkan mengharapkan menjadi aparat negara atau pemerintah (sebab ada trend terjadi peningkatan besar minat generasi muda menjadi ASN/PNS yang dilihat dari animo pendaftar lowongan kerja ASN belum lama ini).
Banyaknya entitas Fintech ilegal juga harus menjadi pelajaran bagi calon investor untuk terus menerus melakukan check, recheck dan crosscheck terkait kapasitas, kapabilitas dan collateral dari entitas Fintech, sehingga akan lebih aman menanamkan modal investasi di jalur Fintech melalui entitas-entitas yang sudah diklarifikasi atau diteliti secara mendalam oleh lembaga yang berwenang, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Masyarakat atau calon investor diharapkan juga terus menerus bekerjasama dan memberikan informasi yang valid kepada SWI ataupun OJK jika ada gejala Fintech ilegal di daerahnya, sebab maraknya Fintech ilegal selain akan merugikan masyarakat, namun juga merupakan salah satu cara sabotase ekonomi untuk membuat kacau perekonomian negara, dan Fintech-Fintech ilegal yang berasal dari manca negara juga tidak menutup kemungkinan berfungsi ganda, selain itu meraup keuntungan juga âmemainkan fungsi intelijenâ yaitu melakukan sabotase terhadap perekonomian sebuah negara yang disasar, dengan grand desaign besar dibelakangnya yaitu pemerintahan dari negara yang disasar Fintech asing ilegal pada akhirnya menjadi âjongosâ mereka.
Penulis adalah pemerhati masalah ekonomi.